Aku Fara. Aku bersekolah di Bandung. Sementara rumahku di
Medan. Sudah terbayang kan bagaimana rindunya aku pada rumah? Aku hanya bisa
pulang ketika liburan panjang kenaikan kelas. Dan sekarang, aku naik kelas 3
SMA. Senangnya!
Tidak semua anggota keluargaku menjemput. Hanya ada Papa
dan adikku yang paling kecil, Rika. Selama perjalanan menuju rumah, banyak
perubahan yang terjadi. Jalan dua arah yang dulu sering macet, sekarang menjadi
satu arah. Ternyata pemerintah memperhatikannya juga, batinku.
Tak terasa aku sudah sampai di rumah.
“Eeeh.. Anak Mama pulaang!” seru Mama menghampiriku lalu
memeluk dan mencium pipiku.
Tak kuasa juga kumenahan airmata begitu melihat Mama
senang bertemu kembali dengan anaknya ini. Aku hanya bisa tersenyum bahagia.
Kubalas pelukan Mama.
“Loh, siapa itu, Ma?” Aku terkejut melihat ada seorang
lelaki di rumah yang tampak asing bagiku.
“Saya Anas. Guru ngaji Rika yang sekarang,” katanya
memperkenalkan diri.
“Oh..” mulutku tak bisa mengucap apa-apa lagi. Whew,
guru ngaji yang baru. Masih muda. Ganteng pula. Assiiiik, pikirku senang.
*
“Assalammu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..” aku menjawab dari dalam rumah dan
mengintip sedikit siapa yang datang.
“Dek, tuh, ada si Mas Anas. Mau ngaji, ya?” tanyaku pada
Rika. Rika masih kelas 3 SD. Aku tidak tahu kalau dia ternyata punya program
mengaji privat seperti ini.
“Om, masuk!” seru adikku.
Adikku, Rika, memang selalu memanggil Om pada guru
ngajinya. Itu memang lantaran guru ngajinya yang terdahulu belum pada menikah.
Tapi tidak tahu yang sekarang. Mudah-mudahan saja belum, jadi aku bisa
mendekatinya, hihi.
“Eh, ada Mba Fara juga di sini. Kaget saya, Mba, biasanya
kan cuma ada Rika aja kalau siang-siang begini,” ujarnya.
”Nggak usah panggil Fara pake “mba” segala. Umur Fara baru
15, kok. Mas sendiri berapa?”
“Oh, gitu. Ya, sudah, nggak apa-apa, Mba. Eh, Fara, maksud
saya. Saya 19 tahun. Kamu juga boleh manggil saya namanya aja, kok. Nggak perlu
pakai “mas” segala.”
“Ah, ya nggak bisa gitulah. Kita kan beda jauh. Oh, ya,
Mas. Kalau Fara mau minta diajarin ngaji juga, boleh nggak?”
“Ya boleh, dong, Ra... Masa orang mau nuntut ilmu akhirot
dilarang?”
Kami pun tertawa.
“Mas kosongnya hari apa?”
“Kapan aja bisa. Gimana kalau setiap Rabu dan Kamis,
jam-jam segini juga, jam 1 atau jam 2 gitulah..”
“Mmmm boleh!”
Aku memperhatikannya selama mengajar Rika. Lebih baik dari
pada yang dulu gurunya, pikirku. Dan lebih ganteng, jadi ada nilai plus!
*
Semenjak aku mengaji privat dengan Mas Anas, hari-hariku
jadi lebih bermakna. Bukan hanya karena kedatangannya mencerahkan hatiku, tapi
juga karena yang dibawanya adalah ilmu untuk bekal di akhirot nanti. Udah
ganteng, agamanya mantap pula! Ya Alloh, mudah-mudahan aku bisa mendapatkannya.
Semenjak itu pula, kami berdua jadi dekat. Entah hanya aku
saja yang keGRan, atau memang karena aku sangat merindukannya ketika jadwal
mengajiku belum tiba.
“Assalammu’alaikum..” seseorang berseru dari depan pintu.
“Wa’alaikumsalam..” jawabku.
“Fara, ada Ibu?”
”Oh, Mas Anas. Kirain siapa. Mama belum pulang. Ada perlu
sama Mama?”
“Enggak, sih.”
“Sekarang jadwal ngaji Rika? Pindah hari?”
“Oh, enggak, kok.”
“Lalu, apa jadwal ngaji Fara yang diganti?”
“Enggak juga, Ra. Saya cuma mau main ke sini aja. Boleh,
kan?”
“Ya, bolehlah... Dengan senang hati, Mas,” jawabku
bergembira.
Kami pun bercanda dengan riang, sempat bertukar nomor handphone
pula. Tambah lagi nilai plus untuk dia: pindahan dari Bandung! Kami jadi punya
kesamaan, paling tidak nyambunglah kalau bercerita tentang Bandung.
“Dulu tinggal di mana, Mas?” tanyaku penasaran.
“Di daerah Ujung Berung, tapi lupa di mananya. Soalnya
saya pindah dari Bandung sudah lama sekali.”
Keningku mengerut merefleks.
“Saya nggak langsung pindah ke sini dari Bandung.”
jawabnya cepat.
“Ooh...”
“Fara tinggal di daerah mananya?”
“Di Dago. Ada tante di sana.”
“Oh, sama tante. Masih suka macet, ya, daerah Dago?
Apalagi kalau udah malam minggu.”
“Iya. Parah banget, tuh. Orang-orang yang dari luar kota
pada datang ke Bandung. Ya, penuh, deh, Bandung. Apalagi tujuannya ke Dago pula
semuanya. Makanya Fara kalau weekend ke Jakarta, Mas.”
“Loh, jadi tukeran gitu.”
Kami tertawa lepas.
*
Mas Anas sering main ke rumah, walaupun hanya sekadar
mampir sebentar sehabis mengajar di rumah tetangga. Kadang juga ia membawa
temannya, yang juga temanku, Yudi namanya. Tadinya aku tidak dekat dengan Yudi,
namun karena kedekatanku dengan Anaslah yang membuatku sedikit terbuka padanya.
“Eh, kita bikin es kelapa, yuk? Tuh, pohon kelapa di
belakang rumah kayaknya udah ngeledekin aja dari kemarin,” ajakku.
“Wah, asyik juga! Ya, udah, siapin aja baskomnya buat air
kelapanya nanti. Biar saya aja yang manjat. Yud, kau beli es batu , ya, di Pak
Harun?” Mas Anas meminta pada Yudi.
“Lah, aku pula? Kan kau calon mantunya Pak Harun. Tadi
katanya udah dianggap macam anak sendiri..,” ledek Yudi puas.
Pak Harun punya dua anak perempuan, mereka teman mainku
sejak kecil. Tak heran kalau Pak Harun menganggap Mas Anas sebagai anaknya
sendiri, setiap hari Mas Anas datang ke rumahnya untuk membantu di warungnya.
“Iya.. iya.. Pak Harun nganggap aku anak. Kalau bapaknya
Fara juga nganggap aku anaknya, nggak, ya?”
“Cieee.... Tuh, Far! Dengerin!” ledek Yudi semakin lepas.
Ia mertawakan kami. Sepertinya wajahku memerah.
Mas Anas mulai memanjat pohon kelapa. Yudi tidak jadi
membeli es batu. Pak Harun memiliki fasilitas pesan-antar untuk pelanggannya.
Dengan begitu, Yudi merasa puas hanya dengan memesan es batu dan lima menit
kemudian datanglah pesanannya.
“Eh, Far. Kau nggak nangkap apa-apa dari si Anas?” tanya
Yudi.
Aku mengerutkan kening.
“Nangkap apa?”
“Ah, pura-pura nggak ngerti, lagi! Masa kau nggak tahu? Si
Anas ngapain coba sempat-sempatin datang ke rumah kau tiap hari kalau nggak
karena cuma pengen ketemu kau?”
“Iya, gitu? Dia, kan, dekat dengan adikku yang lelaki,
Iman. Ya, wajarlah kalau datang terus ke sini,” aku berusaha mengelak namun
tetap menggali informasi. Hihi, lucu, ya?
“Yah, elah.. Liat aja nanti!”
*
Malam ini jadwal besar. Final Euro Cup. Dan kalian
tahu? Jerman! Aku mendukung penuh Jerman. Senang bukan kepalang. Bukan karena
Jerman masuk final, tapi Mas Anas dan Yudi mau menonton bareng adik lelakiku,
Iman, di rumah! Aku jadi punya alasan untuk menonton bola malam ini. Biasanya
aku dilarang bangun tengah malam hanya untuk menonton saja. Kalau bukan untuk
beribadah, tidak usah menonton tv. Selalu begitu.
Aku masih bertahan untuk tidak memejamkan mata demi
menunggu pukul 01.30 tiba. Lagi pula, mereka belum pada datang. Aku jadi cemas,
mengapa lama sekali? Padahal sekarang sudah pukul 22.15.
Aku mengisi waktu dengan menulis sajak, kebiasaanku sedari
dulu. Entah mengapa aku suka sekali menulis. Semuanya mengalir begitu saja
ketika aku mulai membuka Microsoft Word.
“Assalammu’alaikum..” seru orang dari luar rumah.
Sepertinya mereka datang.
“Wa’alaikumsalam..”
Aku bergegas membuka pintu. “Pagarnya nggak digembok, kok.
Masuk aja. Langsung digembok, ya!” Mereka mengerjakan apa yang aku pinta tadi.
“Ke mana aja, kok, baru datang jam segini? Papa sama mama
dari tadi nanyain, kok belum datang si Anas sama Yudi, katanya mau nginep di
rumah?”
“Maaf, tadi kita ditahan di rumah Pak Harun. Beliau ngajakin
nonton di rumahnya juga. Kita pakai alasan macam-macam supaya bisa nginap di
sini,” jawab Yudi.
Aku hanya bisa terdiam. Entah mengerti atau malah cemburu.
Ups, aku cemburu?
“Ibu sama Bapak udah tidur, ya?” tanya Mas Anas
mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya mengangguk.
“Iman dan Rika?” sambungnya.
“Iman tidur, tuh, di ruang tv, kelamaan nungguin kalian.
Kalau Rika mana mungkin masih bangun jam segini! Dia kan ratunya kasur di rumah
ini.”
“Aku tidur dulu, yah? Nanti bangunin kalau udah mulai
bolanya. Ngantuk banget, nih!” keluh Yudi yang sebenarnya tidak beralasan.
“Ya, udah, sana, tidur aja. Nanti aku yang bangunin. Aku
nggak tidur kayaknya. Nanti aja abis nonton bola tidurnya,” ujar Mas Anas
tenang.
“Aku juga nggak tidur, kok. Nanggung, lagian. Aku juga
lagi ada kerjaan, kok. Tuh!” ujarku sambil menunjuk laptop di meja ruang tamu
yang sebenarnya bersebelahan dengan ruang tv.
“Oh, gitu. Ya, udah, aku temanin aja, sambil nonton iklan,”
Mas Anas menawarkan diri.
Beberapa saat kemudian kami hanya diam-diaman. Sepertinya
ia serius menonton. Aku pun sibuk mengetik. Winampku memutar lagu
Souljah, Lelaki Itu.
“Mas, Fara boleh nanya, nggak?” aku membuka percakapan.
“Boleh. Tanya apa?” Mas Anas memalingkan wajahnya ke arahku.
Oh, tidak! Wajahnya begitu tampan ketika malam hari. Akh, ngomong apa aku
ini, batinku.
“Katanya Mas Anas pernah dekat sama anaknya Pak Harun? Si Rani.”
“Siapa yang cerita ke Fara? Kakaknya Rani?”
“Fara, kan, dekat sama meraka dari kecil, Mas.”
“Iya, dulu saya pernah dekat dengan Rani. Tapi nggak ada
hubungan apa-apa, kok. Sungguh!” ucapnya meyakinkanku.
“Ada apa-apa juga nggak pa-pa, kok, Mas. Memangnya apa
hubungannya dengan Fara?”
Mas Anas hanya tersenyum. Ya, Alloh. Senyumnya, indah
sekali.
“Sholat tahajud, yuk? Mumpung bolanya belum mulai. Masih 1
jam lagi,” Mas Anas mengajakku sholat bersama, walaupun memang akhirnya sholat
sendiri-sendiri.
Aku mengangguk senang.
Malam itu menjadi malam paling indah dalam hidupku.
*
Beberapa hari setelah malam itu...
“Tumben, Mas, pagi-pagi ke sini,” tanyaku sambil
membukakan pintu untuknya.
“Ra, saya mau cerita. Saya kemarin dipanggil sama Pak
Harun. Saya dikenalkan pada temannya, Pak Anto. Katanya Pak Anto melihat saya
bermain bola bagus kemarin pagi.”
“Wow! Terus, Pak Anto itu mau membayar Mas di clubnya
atau gimana?”
Mas Anas menggeleng. “Sayangnya, nggak, Ra. Saya mau
dikenalkan pada anaknya. Jadi si Pak Anto itu tertarik mau mengambil saya jadi
menantunya.”
Innalillahi. Astaghfirulloh.
Aku tidak bisa berpikir apa-apa. Aku berusaha menguasai keadaan. Jangan sampai
terlihat kalau aku kecewa. Mas Anas mengeluarkan selembar foto.
“Ini anaknya. Namanya Irina. Seumuran kamu, Ra.”
“Seumuran Fara mau dikawinin? Memangnya dia nggak sekolah,
apa?”
“Sekolah. Jadi nanti minta izin sama Kepala Sekolahnya,
gitu.”
“Terus, Mas jawab apa kemarin? Mas terima?”
“Belum saya jawab. Saya pikir-pikir dulu. Lagipula saya,
kan, nggak punya kerjaan yang mapan. Tapi katanya masalah kerjaan tidak usah khawatir.”
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Pak Anto itu.
“Menurut Fara bagaimana?”
“Hah? Apa, ya? Anaknya, sih, kelihatannya masih
kecil, ya.”
“Bukan anaknya, tapi jawabannya. Saya masih bingung, Ra. Oh
ya, itu fotonya dua tahun yang lalu.”
“Oh. Kenapa harus bingung? Ya, kalau Mas meerasa dia jodoh
Mas, silakan aja. Memang apa pertimbangan Mas selain belum punya pekerjaan?
Nikah muda sekarang, kan, udah nggak asing lagi.”
“Saya hanya ingin minta pendapat kamu aja, Ra.”
*
Sungguh hancur hatiku mengingat kejadian itu. Sudah
seminggu semenjak kedatangannya yang membawa berita menggemparkan itu, Mas Anas
tidak tampak lagi batang hidungnya di rumahku. Padahal ia selalu ke rumah Pak
Harun. Aku tetap menunggunya datang. Entah kenapa, hati ini begitu gelisah.
Selalu berdebar menantinya datang. Selalu berdebar ketika ada orang datang,
yang kukira adalah dia.
“Far, udah, dong. Jangan bete aja!” Yudi berusaha membujukku
“Mana si Mas Anas? Kenapa dia pulang duluan?”
“Nyesal juga, kan. Kau nggak tahu? Dia, tuh, sebenarnya
suka sama kau! Tapi diliat-liat, kok, kayaknya kau nggak ngerespon dia. Dia
jadi bingung. Apalagi waktu kemarin dia cerita tentang Irina. Kaunya lempeng
aja. Kayak nggak suka sama dia. Jadinya dia bingung mau nembak kau juga takut
ditolak,” penjelasan Yudi malah membuat hatiku makin hancur.
“Bohong!”
“Aduh! Terserah kalian berdualah! Aku capek, tahu! Yang si
Anas kelimpungan ngadepin kau yang adem-ayem aja. Yang ini malah keras kepala.
Kalian, tuh, sebenarnya saling suka, kan? Ya, udahlah, nunggu apalagi?”
“Aku kesal dia nggak datang-datang lagi ke rumahku, Yud!
Memangnya aku salah apa sama dia?”
“Loh, tadi kan aku datang sama dia ke sini. Tapi kaunya
malah diam aja, nggak nyapa dia sekali pun. Ya, betelah dia. Mending pulang aja
daripada dikacangin.”
“Aku, tuh, nunggu dia minta maaf. Ngomong, kek,
kalau dia nggak bisa datang seminggu kemarin. Jelasin, kek, alasannya
kenapa,” aku tetap ngotot. “Aku, tuh, mau balik besok ke Bandung, Yud! Tapi
tadi dia kayak nggak tahu gitu aku mau pergi besok. Aku sakit, Yud. Sakit
banget.”
“Dia tahu, kok, kau mau pergi besok. Makanya dia kemari,
pengen ketemu untuk terakhir kalinya. Eh, malah dikacangin!”
Aku tak kuasa menahan airmata. Kristal-kristal bening yang
sudah menggenang di kelopak mataku akhirnya mengalir juga.
*
“Halo, Fara? Assalammu’alaikum,” sapa orang di seberang
telepon.
“Wa’alaikumsalam. Iya, ini Fara. Ini siapa, yah?”
“Anas, Ra. Jangan ditutup!” cegahnya terburu-buru. “Saya
mau minta maaf, Ra, atas kejadian kemarin. Saya nggak bisa ngomong ke kamu.
Saya nggak...”
“Iya, iya, nggak apa-apa. Tapi kenapa seminggu kemarin
nggak datang ke rumah?” selaku.
“Saya malu, Ra. Saya nggak enak sama kamu setelah cerita
tentang Irina itu. Kamu katanya marah banget, ya, karena saya nggak
datang-datang lagi ke rumah?”
“Fara nungguin Mas terus, tapi Mas nggak datang-datang.
Fara jadi bingung. Apa Fara waktu itu salah ngomong, ya? Ya, udahlah, nggak
apa-apa. Fara juga minta maaf, ya, selama Fara di Medan.”
“Loh, kamu udah di Bandung?”
“Belum, sih. Mampir sebentar, nih, di Jakarta. Diajakin
teman,” jawabku tenang.
“Yah, yang penting sekarang udah clear, ya?”
Sebuah senyuman tersimpul di bibirku.
*
Hari pertama sekolah.
Handphoneku berdering. Kulihat layarnya.
Mas Anas.
Wow! Hatiku berasa meledak! Seperti disapa malaikat
pelindung di pagi hari.
“Halo? Assalammu’alaikum” sapaku.
“Wa’alaikumsalam. Maaf, pagi-pagi sudah saya telepon. Ini
penting, Ra.”
“Ada apa, Mas?” tanyaku penasaran.
“Ra, maaf yang kemarin-kemarin. Sebenarnya sudah lama
ingin saya katakan selagi kamu ada di rumah. Tapi saya nggak berani. Saya
terlalu penakut. Saya pengecut, Ra. Maaf, Ra.”
“Iya, Fara maafkan. Memangnya ada apa, Mas? Jangan buat
Fara makin bingung dan penasaran, dong!” ujarku penuh pertanyaan dalam benak.
“Ra, sebenarnya saya sayang sama kamu.”
Jantungku berhenti berdekat sedetik. Semuanya menjadi berhenti.
Sebuah senyum merekah lebar di bibirku.
“Maaf, Ra.”
“Mas, Fara juga sayang Mas. Mas nggak perlu minta maaf,”
ujarku.
“Saya minta maaf, kita nggak bisa ketemu lagi.”
“Kenapa? Liburan nanti Fara usahakan pulang, Mas. Apa Mas
mau pindah?” Hatiku bercampur aduk rasanya.
“Saya sudah melamar Irina. Bulan depan kami menikah.”
ANJIR!!! Buat apa dia bilang sayang sama aku kalau udah
melamar cewek itu? Cowok sialan!, batinku berperang. Tiba-tiba saja
airmataku enggan keluar.
“Saya minta maaf, Ra. Mungkin saya menyakiti hati kamu
selama kamu di rumah kemarin.”
“Sekarang bukan sakit lagi namanya, Mas.”
“Saya tahu, pasti sakit. Saya juga sakit di sini, Ra. Saya
nggak mungkin menolak tawaran Pak Anto kemudian melamar kamu. Saya tidak
kuliah, tidak punya pekerjaan pula. Mau makan apa kamu, nanti? Lagipula, kamu
masih sekolah, masih SMA. Masak saya melamar kamu, apa kata orangtua kamu
nanti? Saya pasti dihina, Ra.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Airmataku mulai
menggenang.
“Maaf. Setiap saya menginap di rumah kamu, ketika sehabis
sholat tahajud di musholla, saya selalu mencium mukena kamu. Saya selalu
berharap bisa melakukannya setiap hari.”
Kini butiran-butiran airmata mulai menetes di pipi. Aku
tetap tidak bisa berkata apa-apa.
“Silakan kalau kamu mau marah sama saya. Saya terima. Saya
memang pantas untuk kamu benci. Saya nggak pantas kamu kenang. Memang
seharusnya kita nggak boleh dekat. Kamu dan saya berbeda, Ra.”
Tetesan tadi berubah menjadi aliran yang deras.
Sampai, sampai jumpa, kasih
Ku tak kan pernah menjadi milikmu...
Sampai, sampai jumpa, kasih
Ku tak kan pernah menjadi milikmu...
Penggalan lirik lagu Souljah 'Lelaki Itu' kini benar-benar menjadi soundtrack
kisahku.
***
P. Berandan, 2006
hmmm... jangan khawatir Fara, lelaki gak satu kok masih banyak...he2. btw, ini mirip masa mudaku mak...aku pernah sakit hati begini...huhuhu...
ReplyDeleteuhuk uhuk.. sakit, mak? hiks hiks.. sekarang mah udah ada yang lebih lebih lebih baik lagi ya? :))
Deleteyup, betul mak... Allah pasti beri yang terbaik buat hamba-Nya yang sabar :-)
Deletelagi baca....simak ....dan hayati....kesimpulan bagus postingannya.......pasti akan ada yang terbaik......salam kenal
ReplyDeletemakasih mba Lisa udah mampir ke mari :)
Deletesalam kenal juga, mba :)
ini based on true story ya mbak ?? :p
ReplyDeleteiya, ini short true story, tem.. :D
Delete