Sekolah Formal atau Homeschooling?

12.15.2015


Udah masuk waktunya penerimaan siswa baru untuk sekolah-sekolah swasta kayaknya, ya? Ada yang masih bingun milih-milih sekolah buat anaknya? Yang SD, SMP, juga SMA? Oh, TK sekarang juga udah kebingungan, ya, cari sekolahnya! Saya pun.


Tahun ajaran depan, insyaAllah anak saya, I'am, mau masuk SD di Indonesia. Tapi bingungnya udah sejak setahun yang lalu. Mulai dari milih SD Negeri atau swasta, lalu swasta yang Islam atau internasional, kemudian jadi sekolah formal atau homeschooling aja, nih?

Sebenarnya, saat ini I'am udah SD di Suly. Usianya sekarang memang baru 6 tahun 2 bulan, tapi alhamdulillah so far dia menikmati dunia belajar. Dan ketika pindah nanti, demi menyamakan kurikulum, kami sepakat supaya I'am mengulang lagi dari kelas satu.


SD Negeri


Kalau nggak mau ribet pilah-pilih sekolah, sih, sebenarnya saya dan suami penginnya sekolahin I'am di negeri aja. Kami pikir-pikir, kalau di negeri itu lebih fleksibel waktunya. Masuk pagi, pulang siang. Siangnya tapi nggak kesiangan banget, jadi anak-anak masih bisa makan siang dan sholat dzuhur di rumah, lalu tidur siang. Itu, sih, bayangan saya. Lalu sorenya, masih bisa ikut mengaji di mesjid atau ikut les-les olahraga macam renang atau sepak bola.

Idaman banget.

Tapi itu semua sirna, ketika belakangan ini penerimaan siswa SD negeri minimal usia 7 tahun. Ada juga yang belum genap 7 tahun diterima, tapi bukan di sekolah favorit. Hancur sudah harapan kami. Okey, ini lebay.

Kalau saya perhatikan, I'am ini tipe anak yang serius dan fokus kalau mengerjakan sesuatu. Maka itu di sekolah dia lebih suka belajar daripada bermain dengan teman-temannya. Paling enggak begitu yang dia jawab setiap kali saya tanya tentang kegiatannya di sekolah seharian, "Belajar ini, belajar itu, nggak main apa-apa sama teman." Beda sekali dengan adiknya.

Nah, dengan pertimbangan ini pula lah, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk nggak memasukkan dia ke SD negeri nantinya. Meski banyak memang SD egeri yang bagus, tapi saya, kok, kasihan aja kalau nanti dia malah keterima di SD negeri yang bukan pilihan utama kami. Jadi kami berusaha mencarikan sekolah yang sesuai dengan karakter I'am.

Pro: jam belajarnya sedikit dan biaya murah.
Kon: bahasa, usia nggak masuk, cara mengajarnya (rata-rata) masih satu arah.


SD Swasta


Untuk memilih SD swasta pun ternyata nggak semudah memilih nama sekolahnya. Ada poin yang prinsipil bagi saya dan suami, salah satu di antaranya adalah jam belajar. 

Rata-rata sekolah swasta kebanyakan, jam belajarnya mulai dari pukul 7 pagi sampai pukul dua siang. Kalau masih kelas 1 dan 2, sih, masih enak. Pukul 12 juga udah bisa pulang. Tapi ada juga yang pukul 1 siang baru pulang, biasanya itu sekolah-sekolah Islam karena mewajibkan siswanya untuk shalat dzuhur berjamaah di mesjid sekolah.

Keunggulan SD swasta (dalam hal ini sekolah islam) adalah agama. Biasanya mereka punya program-program pendalaman agama yang nggak bisa didapatkan kalau sekolah di negeri. Sebut aja program tahfidz qur'an. Meski golnya bukan mejadikan hafidz dan hafidzah, paling enggak sejak dini anak-anak udah diajarkan menghafal surat-surat pendek dengan tajwid yang benar. 

Yang paling saya sukai dari SD Islam begini adalah anak-anak diajarkan tata krama sesuai agama. Bagaimana anak-anak bisa belajar sopan santun dengan yang lebih tua dan menghargai pada yang lebih muda, bagaimana anak-anak bisa belajar untuk unggah-ungguh. Hal-hal kecil seperti ini yang nggak didapatkan dari sekolah I'am yang sekarang. Ya, tahu sendiri lah, ya, didikan 'barat' itu kayak apa.

Pro: program tambahan pendalaman agama Islam, biaya masih bisa terjangkau.
Kon: jam masuknya kepagian.


SD Internasional


Keunggulan SD internasional bagi kami adalah, bahasa. Rata-rata mereka pasti full berbahasa Inggris di sekolahnya. Dan ini merupakan poin yang menjadi nilai lebih bagi kami, karena saat ini I'am memang lebih fasih berbahasa Inggris daripada Indonesia. Jadi kami nggak ada kendala apapun kalau memasukkan I'am ke SD internasional. Kami yakin, I'am sepertinya bisa dengan mudah beradaptasi di sana nantinya.

Namun kendala lainnya muncul, yaitu agama. Buat apa cari-cari sekolah di Jakarta kalau toh akhirnya milih sekolah yang setipe dengan di Suly? Maksud saya, pindah ke Jakarta itu kan dengan harapan bisa mendapatkan sekolah yang lebih baik daripada yang sekarang. Nggak melulu akademik yang dicapai. 

Ada salah satu sekolah bertaraf internasional yang saya dan sumi taksir di daerah Cibubur. Iya, kami akan pindah ke Cibubur nantinya. Sekolah ini mash terbilang baru, jadi biayanya juga nggak terlalu mahal dibanding sekolah-sekolah internasional lainnya. Dan yang paaaling bikin kami jatuh cinta adalah jam belajarnya. Masuk sekolah pukul 8.30 pagi dan pulangnya pukul dua siang. Pagi-pagi nggak akan hectic, deh!

Di samping masalah agama, biaya juga menjadi pertimbangan tentunya. Biaya SPP, antar-jemput, catering, juga masuk perhitungan bulanan. Kalau udah begini, makin pusing jadinya milih sekolah buat anak yang padahal baru SD aja.

Pro: bahasa, jam masuknya siang.
Kon: sekuler, pendidikan agama cuma basic-nya aja.


Homeschooling (HS)


Keinginan untuk HS sendiri pernah ada sejak setahun yang lalu. Saya sempat ikutan webinar mengenai HS yang diadakan oleh salah satu praktisi HS yang udah terkenal. Saat itu, saya optimis sekali bisa ngajar anak-anak saat HS nanti. Dengan HS, anak-anak bisa lebih terarah lagi kemampuannya. Saya bisa bebas mengajarkan apa aja pada anak yang nggak diajarkan sekolah-sekolah formal.

Terutama untuk agama, anak-anak bisa belajar mengaji di pagi hari lalu belajar lainnya sebelum waktu makan siang. Nanti, setelah tidur siang, anak-anak bisa ikut les tambahan sesuai dengan minat dan bakatnya. Kelihatannya enak banget, ya, HS? Waktunya sangaaat fleksibel.

Taapiii, saya itu orangnya nggak telaten dan nggak kreatif. Hih! Saya nggak bisa ngajarin anak-anak tentang hal-hal baru secara rutin. Nggak bisa. kalau cuma sekadar mengulang atau sekali-kali aja, sih, masih bisa dan semangat. Kayaknya saya emang bukan ditakdirkan untuk menjadi pengajar. 

Padahal anak saya baru dua yang usia sekolah begini, tapi saya udah menyerah begitu aja tanpa mencoba lebih dulu. Gimana teman saya, yang sekarang punya 6 anak dan semuanya HS. Iya, SEMUA! 

Dan hebatnya lagi, anak-anaknya ini nggak kalah pintar dengan teman-temannya yang sekolah umum. salah satu anaknya pernah menjuarai kompetisi robotik di daerahnya, dan mengalahkan kompetitor yang berasal dari sekolah umum. Bahkan anaknya yang masih usia 4 tahun ke bawah pun udah diajak untuk HS, dengan cara dibuatkan silabusnya terlebih dahulu seperti di posting-an yang ini. Saya salut sama perjuangannya.

Terus saya jadi penasaran, gimana caranya membagi waktu mengajar anak yang segitu banyaknya? Mana anaknya masih kecil-kecil semua. Ternyata kuncinya itu ada di kesepakatan dan kerjasama. 

Setelah shalat shubuh, anak-anak membaca Al Qur'an lalu bagi-bagi tugas rumah. Mulai belajarnya sendiri baru pukul delapan sampai sepuluh. Sehabis itu bebas. Habis maghrib, ngumpul untuk mengecek tugas-tugas yang sulung. Kalau yang kecil-kecil seharian ngerjainnya bareng.

Iya, kamu nggak salah baca. Cuma dua jam aja belajarnya. Huaaa enak sekali, yaaa. Tapi kenapa saya susah sekali sepertinya? Baru ngebayanginnya aja udah repot duluan! :(

Pro: waktu fleksibel, jam belajar terserah, biaya murah.
Kon: harus ngajar anak setiap hari, suami-istri harus satu visi dan ikut turun tangan (susah kalau suaminya kerja kantoran kan).

Saya nggak bohong, kan, anaknya ada enam.

N.B.: Buat yang masih penasaran dan mau tanya-tanya tentang HS, silakan ke blog-nya teman saya di catatansiemak.com. Namanya Mbak Siti Hairul.

22 comments :

  1. Kok lagi pada bahas blognya si emak ini yah?
    Aku jadi penasaran ada apa :D

    ReplyDelete
  2. belajarnya yang ngerjain tugas cmn dua jam sisanya huaaaaa capek emaknya ngikutin hahahaha

    ReplyDelete
  3. Saya seakarng serahkan ke anaknya mau masuk sekolah yang mana, kalau HS saya mau belajar lebih banyak lagi dech. Salut sama MBak Irul

    ReplyDelete
  4. Semoga I'am dapet sekolah sesuai dengan kebutuhannya ya Deksul.

    ReplyDelete
  5. payungnya samaan kayak punyaku ahahhahah dimanapun sekolahnya semoga ilmunya bermanfaat buat si dede mbak :D

    ReplyDelete
  6. sebenernya HS gak murah juga loh, karena ada tyambahan belajar ini itu. dua-duan ada kelebihannya juga ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya juga sih ya. Apalagi kalau udah mau ujian, malah bayar. -___-

      Delete
  7. Saya juga belum PD buat HS mba, pengen banget tp kok ya gak PD. Untuk sekolah internasional kayaknya kalo buatku gak masuk daftar pilihan hehe (lebih ke biaya xD). Anyway semoga dapat sekolah yang terbaik ya untuk I'am

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, samaaaa! pengin banget tapi nggak pede. Susah ya mbangun pede ini. -___-
      Internasional juga cuma masukin aja di postingan biar banyak pilihan :D

      Delete
  8. moga i'am dpet skolah yg cucok dan terbaik utk i'am, amiinn...

    ReplyDelete
  9. akupun salut ama ibu 6 anak yg semuanya HS itu :).. wuaduhhh ga kebayang kalo aku deh -__-.. a akku sih msh 3 thn mba.. msh blm tau sih mw disekolahin di mana krn aku dan suami msh beda2 pendapat... dia pgnnya negeri, aku swasta.. tp ya kita liat ntr aja deh :)..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mumpung masih 3 tahun, Mbak, dikumpul-kumpulin aja duitnya biar nggak kaget seumpama nanti pun mau masukin ke swasta. Terus, kalo bisa udah mulai searching-searching sekolahan yang recommended di deket2 rumah. Tentunya yang sesuai dengan budget dan kebutuhan si anak juga ya. :))

      Delete
  10. HS seru sekali Mak, aku juga bukan orang yang telaten ngajar, tapi ternyata bisa kok jalanin HS.
    Keuntungan terbesar HS adalah terciptanya hubungan yang dekat antara anak dan orangtua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wuaaaah, kalau dapet testimoni kayak gini nih yang bikin saya makin semangat untuk HS. Ayolah pedeeee, keluaaaarrr!!!! :D

      Delete
  11. sekarang milih sekolahin di sekolah negeri, soalnya sering mutasi sih. Anak saya saja kelas 5 sudah 4x pindah sekolah. Gampang ngurus masuk sekolahnya dan biaya murah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmm iya juga ya, lebih gampang ngurus2 masuknya juga kalau untuk negeri. Jadi kepikiran...

      Delete

Thank you for read my story. I would be very pleased if you leave a comment here. ^__^