Kau Badut, Aku Badut

10.30.2013

http://images.fineartamerica.com/images-medium-large/happy-clown-methune-hively.jpg

Rio gundah. Pikirannya kalut. Tak dinyana dirinya ikut bekerja di EO milik Om-nya. Bukannya ia gengsi, tapi tak ada pilihan lain. Ia harus menggantikan sementara karyawan Om-nya yang mendadak izin padahal malam Minggu besok, dua hari lagi, adalah acaranya.


"Aku malu, Om. Bapak sama Ibu seharusnya udah selesai membiayaiku tahun lalu. Biar kugantikan karyawan Om itu," katanya kemarin.

Rio mendesah. Digenggamnya rambut palsu keriting lebat berwarna merah. Apa yang harus dikatakan pada kekasihnya nanti, kalau malam Minggu ini mereka tak bisa berkencan seperti biasanya? Seperti dua bulan yang lalu? Iya, dua bulan yang lalu. Sejak malam Minggu terakhir kali Rio datang mengapeli, ia disibukkan dengan berbagai tugas akhir yang membuatnya takbisa istirahat barang sejenak.

Rio muram. Rindu yang membuncah pun luruh seketika begitu dilihatnya kostum warna-warni bermotif garis-garis di atas tempat tidurnya. Ia harus cepat berpikir. Membuat alasan supaya kekasihnya bisa menerima alibinya nanti. Ah, semakin dipikir, semakin kalut rasanya. Ditambah lagi desas-desus yang ia dengar dari teman kosnya, bahwa mereka pernah melihat kekasihnya bersama pria lain di mall. Di beberapa mall berbeda. Namun dengan pria yang sama.

Mungkin lelaki itu punya segalanya, batinnya.

Rio merutuki diri sendiri. Entah kenapa harus berjuang di ibukota, padahal ia lebih suka belajar di Jogja, tempat kelahirannya. Namun semua berubah ketika bertemu Ivo, kekasihnya kini. Ah, nostalgia, memang selalu lebih indah ketika dirayakan sendiri.

Diambilnya telepon genggam yang tidak cukup pintar itu dari dalam saku depan celana jinsnya. Ditekannya nomor dua di layar, kemudian menghubung ke salah satu kontak yang sangat dihapalnya luar kepala. Ivo.

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Lima kali. Hingga tujuh kali nada sambung terdengar tak kunjung diangkat oleh si empunya nomor. Rio mematikan panggilan. Disentuhnya layar bergambar kotak surat, lalu mulai mengetik beberapa kata hingga jadi beberapa kalimat panjang. Alasan.

***

Suasana di luar sangat ramai. Ramai tamu undangan ulang tahun salah seorang anak pejabat tinggi di kota metropolitan tersebut. Entah kenapa badut juga termasuk dalam daftar hiburannya. Tak ada yang perlu dihibur oleh badut sepertinya, karena ini bukan pesta ulang tahun anak-anak. Ah, entahlah. Yang penting aku dapat penghasilan untuk hidupku bulan ini. Di Jakarta.

Beberapa anak yang ikut hadir mendatangiku, minta berfoto dan bersalaman. Ada pula yang minta digendong. Ah, iya, anak balita pastinya. Keherananku bertambah, pesta apa ini sebenarnya? Om-ku tak memberi penjelasan apa-apa.

Saujana, kutemukan sosok yang paling kurindu selama dua bulan ini. Ah, tak mungkin! Pasti aku kelelahan berulah sejak tadi. Kupejam sejenak mataku, kemudian menatap kembali punggung yang sedikit terbuka dibalut gaun hitam sepaha. Mirip sekali! Kutoyor-toyor kepalaku yang penuh rambut palsu lebat berwarna merah.

Aku menghela napas. Kucari bangku terdekat yang kosong. Segera kurebahkan tubuh gempalku di sana. Dengan langkah sedikit lebar dan susah-payah mengangkat sepatu, kudapatkan juga lapak kosong untuk rihat sejenak. Mataku kembali menangkap sosok itu.

Ingin rasanya kudatangi perempuan itu, namun aku malu. Aku ini sedang berpura-pura. Ah, bukankah itu malah lebih baik? Dengan dalih sebagai badut penghibur, lebih mudah bagiku untuk mendatangi beberapa tamu tanpa tahu rasa malu. Kusiapkan niatku mendatanginya.

Baru beberapa langkah kakiku menapak, seorang pria mendatanginya. Om-ku! Ah, syukurlah kalau ia mengenalnya. Ini kesempatanku. Oh, Ivo, kau tidak tahu betapa kurindu dirimu. Lihat, aku jadi gila karenamu. Kulihat seorang perempuan yang bahkan punggungnya pun mirip denganmu.

Tanpa sadar, tanganku telah mendarat di punggung perempuan itu. Ia berbalik, dan memekik kaget.

"Aaaaaakkk! Ada baduuuut! Om, aku takut badut!" teriaknya panik kemudian berlindung di balik punggung Om-ku.

Apa-apaan ini? Ivo! Oh, tidak. Aku harus tenang. Jangan panik! Jangan panik! Jangan panik!

"Ivo, ini aku!"

Ah, sial! Suaraku tercekat. Bagaimana mungkin bisa ada Ivo di sini? Pikiranku melayang ke sebuah pesan balasan yang kuterima kemarin malam. Ivo tak marah padaku karena tak bisa bertemu dengannya. Ya, cukup aneh memang. Tapi saat itu tak kuhiraukan balasan yang begitu. Kupikir ia mengerti keadaanku.

"Nggak papa, ini badut Om, kok! Nggak nakal, kan, ya? Hahaha!" canda Om-ku sambil merangkulku.

Ivo masih berlindung di balik badan Om-ku. Ah, apa-apaan, Ivo! Yang begini ini sama sekali tak lucu!

"Sini, Vo! Kita foto dulu sama badutnya. Nggak papa, Om di sebelah badutnya, deh! Kamu sini aja."

Kemudian dipelukkannya tangan kiri Ivo ke pinggangnya, dan tangan kanan Om merangkul pundak Ivo. Anjing! Kurasakan tubuhku membara sedari tadi, tak sadar tanganku sudah mengepal bersiap meninju.

BUK!

Om-ku terjatuh. Ivo kesiap. Matanya memandangku aneh. Mungkin ia curiga. Kupikir ia akan lari karena takut. Namun tiba-tiba ia mendatangiku.

PLAK!

"Aku nggak takut sama badut!"

Kutahan emosiku agar tak balas tamparannya. Kutarik napas agak panjang, kemudian kuhela perlahan. Ivo menolong Om-ku yang masih tergeletak sambil mengelap darah yang mengucur dari hidungnya.

Suasana mendadak begitu gemuruh. Bodoh! Kurutuki diriku sendiri malam ini.

***

"Temani Om sebentar ke tempat kost keponakan Om, ya?"

"Oke, Om. Nggak papa. Ivo tunggu di mobil aja, ya?"

"Nggak mau ikut ke dalam? Keponakan Om ini yang jadi badut kemarin. Om mau tahu kenapa dia mukulin Om waktu itu."

"Oh! Kalau begitu Ivo mau ikut masuk! Enak aja Om ganteng ditonjok sama tangan kotornya!"

"Hush, nggak usah emosi! Gitu-gitu masih keponakan Om. Dia baik, kok, sebenarnya. Pintar. Dia nggak mau nyusahin orangtuanya, kakak Om. Makanya dia rela jadi badut demi bisa nyelesaiin tugas akhirnya."

"Oh, lagi kuliah?"

"Iya. Yuk, udah sampai, nih!" Om mematikan mesin mobilnya. "Turun, Nona Manis?"

Kulihat sekeliling. Ini jalan menuju kost Rio. Ah, palingan dia lagi di kampus. Kudengar Om sedang berbicara di telepon dengan keponakannya. Sementara mataku mulai awas.

"Nggak usah ke kostannya. Tunggu di sini aja, nanti dia yang ke sini bawa kostum badutnya."

Kami duduk di bangku kosong depan gang. Kurangkul lengan kekarnya dengan kedua tanganku. Sengaja kusentuh-sentuh sedikit dengan buah dadaku yang menyembul dari balik kaos ketat berwarna putih hampir transparan. Om mulai tergoda. Tak kami pedulikan kendaraan lalu-lalang keluar-masuk gang. Toh, mereka tak mengenalku ini!

"Nih, Om!" seseorang melempari kostum badut di depan kami.

Aku membalikkan bada. Kesiap.

"Kaget, ya?"

Aku langsung berdiri dan salah tingkah.

"Rio, masih emosi aja? Kenapa, sih, kamu? Ada masalah apa, kok tau-tau mukulin Om semalam? Coba, sini duduk dulu. Oh, iya. Kenalin, ini Ivo."

Rio bergeming. Ingin rasanya aku ditelan bumi. Perasaanku sudah gelisah, gundah-gulana tak keruan.

"Udah kenal, Om!" jawabnya ketus.

"Hah?"

"Om nanya aku ada masalah apa? Dia ini masalahnya! Dasar, perempuan gatel! Amit-amit! Perempuan matre, lo! Anjing!" Rio berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajahku.

Dadaku bergemuruh hebat. Malu sekali rasanya. Mungkin wajahku sudah seperti kepiting rebus kali ini.

PLAK!

"Makanya kalo pacaran tuh diperhatiin ceweknya!" aku membalas dengan sebuah tamparan di pipinya.

Kulihat Om masih kebingungan. Rio ingin membalas tamparanku namun tangannya ditampik oleh Om. Kemudian ia berbalik meninggalkan kami, setelah sebelumnya puas memaki-makiku di depan Om.

"Dasar cewek nggak tahu diri! Najis gue pernah kenal sama lo, tau! Taik! Anjing!" Kudengar kata-katanya masih memenuhi ruang pendengaranku.

"Jadi, Rio itu siapa kamu?" tanya Om dingin.

"Pacar."

Om berdiri dan meninggalkanku. Sendiri. Orang-orang yang sedari tadi mendekat, mulai membubarkan diri.

Kulihat Om masuk ke dalam mobilnya, lalu kukejar.

"Om, tolong jangan tinggalin Ivo!"

"Dasar perek! Nih!" Om melemparkan semua barang belanjaan yang baru saja kami beli tadi. Tepat mengenai wajahku.

Buru-buru kubuka tas dan kuraba-raba semua kantongnya. Ah, ketemu!

"Om! Lihat!" kutunjukkan sebatang test pack yang sudah kusimpan dalam tas sejak semalam.

"Apa-apaan ini!" Om turun dari mobil dan mendekat.

"Hih!" Om membopongku dengan paksa. Tapi hatiku gembira, pasti ia senang.

Kemudian tiba-tiba ....

Tubuhku tenggelam. Om melemparku ke dalam parit besar yang ada di pinggir jalan. Orang-orang mulai ramai mendekatiku lagi.

"Biarin aja! Dia itu perempuan hina!" seru Om ketika ada orang yang mau menolongku.

Aku berusaha bangun dan berdiri dari parit kotor ini. Sial! Badanku penuh kotoran dan air hitam. Huek! Aku mual.

Oh, Tuhan! Beginikah balasanmu kepadaku? Kali ini aku yang jadi badut. Lebih memalukan ketimbang badut Rio semalam. Badut hitam.

***

1.271 kata.


20 comments :

  1. Fiksimu mba selalu sukses membawaku mengelana ke ruang imajinasi :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. eh ada mak irma! bisa aja mujinya ^_^
      makasih banyak mak udah mau mampir ke mari :)

      Delete
  2. waduhhhh,, point of view yang berbeda,, takjub yeuhhh

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini karena bingung mau ceritain dari mana, mak. wkwkwkwkwk. :D :D :D

      Delete
  3. takjub sampai ga bisa komen *eh,tapi ini komen juga kan*. hehe

    keren, masih belom bisa nulis fiksi begini. udeh kelamaan ga nulis FF *tepok jidat*

    ReplyDelete
    Replies
    1. *bantuin tepok jidat mak novia* :p

      ini biasa aja kok mak ceritanya. :D

      Delete
  4. Replies
    1. orang lain, mbak.
      *sepertinya ceritaku memang masih nanggung yak, diabca lagi kok malah nanya ini kenapa itu gimana* -____-

      Delete
  5. ujung ceritanya gitu aja? nggak diceritain gimana sebenarnya hubungan Ivo dengan si Om? Nanggung ah, Isti. Lanjutin dong. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, gitu aja. tapi karena kamu komen begitu, aku jadi kepikiran nerusin. hahaha. eh, ini mana aja yg nanggung? coba dijabarin biar aku utak-atik lagi malam ini. makasih, bang. :)

      Delete
  6. typo, typo, mbak eeee

    ReplyDelete
  7. keren banget mbak.
    gimana sih buat cerpen supaya pembaca keikut gitu dalam imajinasi.

    kunjung balik ya mbak

    ReplyDelete
  8. kau badut, aku badut ,kita semua badut , , ,
    kalian badut juga ? ? ? ?

    mampir diblog ane ya . . .

    ReplyDelete
  9. POVnya ganti2 toh, sempet bingung sebentar tadi hohohoho

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, mbak. ganti2. heheh. pake 3 sudut pandang. :D

      Delete
  10. udah kubaca lagi, Isti. Boleh komen lagi dong. ;)

    Oke, di satu bagian disebut si Rio yang udah berpakaian badut merebahkan badan. Lalu di kalimat berikutnya disebut kalau Rio akhirnya mendapat tempat duduk setelah susah payah. Sepertinya posisi kedua kalimat ini terbalik yah? ;)

    Terus pada bagian akhir ketika si Ivo menunjukkan tespak, kok si om kayak ga peduli gitu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Boleh banget komen, Bang. Banyak juga gapapa. :D

      Oh, ya? Aku siwer. AKu periksa dulu, ya. :)

      Itu si Om sebenernya nggak begitu suka sama si Ivo, karena dia udah punya pacar di kampung. Tadinya sempat aku bikin kalo Om-nya itu udah punya istri, tp akhirnya aku ganti jadi begitu ceritany. Ngga ketauan ya si Om-nya itu kenapa ga peduli. -__-

      Oke, makasih banyak, Bang. ^_^

      Delete

Thank you for read my story. I would be very pleased if you leave a comment here. ^__^