_________________________________________________________________________________
http://www.desicomments.com/paintings/hungry-child-painting/ |
Di sebuah desa yang belum banyak penduduknya, hiduplah seorang anak kecil dan ibunya. Mereka sangat miskin. Miskin sekali. Bahkan untuk pakaian pun hanya sehelai tersisa yang bisa dikenakan. Jika hendak mandi atau mencuci baju, mereka terpaksa tidak memakai apa pun, hanya bersarung kain lusuh yang biasa digunakan untuk alas tidur di atas tanah kering lantai rumah.
Hari itu yang ketiga, si anak belum memasukkan apa pun ke mulutnya selain air. Air yang diciduk ibunya dari genangan tanah becek yang dimasak. Tak ada garam, gula, apalagi merica.
Matahari makin meninggi. Si anak terbangun dari tidurnya, ususnya mulai membakar perut.
"Ting, gegenting. Perutku sudah genting, mau makan."
"Sabar, Nak. Tidur saja dulu, Ibu akan mencari makanan di luar," jawab Ibu sambil megumpulkan air dari genangan hujan tadi pagi.
Si anak pun tertidur kembali. Setengah jam kemudian ....
"Ting, gegenting. Perutku sudah genting, mau makan."
"Sebentar, Nak. Ibu sedang merebus air untuk masak."
Mendengar jawaban ibunya, si anak tersenyum. Membayangkan sepiring nasi panas mengepul di atas daun. Kemudian ia tertidur lagi. Tak sampai satu jam, ia bangun lagi.
"Ting, gegenting. Perutku sudah genting, mau makan."
"Iya, Nak. Lauknya masih direbus. Tidurlah lagi, supaya sedikit hilang laparmu."
Si anak menurut. Ia tertidur kembali, kemudian tak lama tercium aroma daging dari arah dapur. Ia terbangun.
"Ting, ge ... gen ... ting. Pe ... rut ... ku su ... dah gen ... ting, mau ma ... kan," ucap si anak lirih.
Ibu datang dengan sedikit mengesot* dan membawa rebusan makanan yang belum pernah dilihat si anak.
"Ini, makanlah! Tak ada rasanya. Hanya ini yang bisa Ibu masak."
Si anak memandang takjub makanan di depannya. Ia tak bertanya-tanya lagi dari mana ibunya dapat lauk senikmat itu. Sementara ibunya tersenyum dalam kepedihan. Demi anak, ia rela memotong beberapa jari kakinya untuk dimasak.
*****
294 kata.
*mengesot: ini bahasa Indonesianya apa, ya? Di KBBI ga ada kata 'mengesot'. -___-
Sinopsis cerita asli.
Seorang Ibu dan anak hidup dalam kemiskinan. Ketika si anak kelaparan, ia selalu mengucap, "Ting, gegenting. Perutku sudah genting, mau makan!" pada ibunya. Namun, karena tidak punya persediaan apa-apa, si Ibu selalu mengulur-ulur jawaban agar anaknya merasa ada harapan. Dan menyuruhnya untuk tidur agar lupa pada laparnya.
Ketika si anak bangun, ia masih kelaparan. Si Ibu mencari akal lagi dengan mengulur-ulur jawaban kemudian menyuruh anaknya tidur kembali. Di akhir cerita, si anak akhirnya tak berdaya lagi melawan rasa laparnya, dan akhirnya meninggal. Sedangkan ibunya tidak tahu, karena ia hanya terus memandang air yang merebus batu di depannya. So sad. T__T
Waktu kecil, saya kesal ketika membaca cerita ini. Kenapa anaknya harus meninggal? Kasihan sekali. Lalu kenapa ibunya tega memasak batu? Paling tidak, dalam cerita versi saya, si anak bisa makan. Makan daging. :D
Cerita asli ini terdapat dalam buku "Kumpulan Cerita Rakyat dari Sumatera", entah sekarang masih ada atau tidak. Saya sempat kesal juga pada Papa saya yang membelikan buku ini, karena kebanyakan isinya sad ending, malah terkesan dark ending. Waktu itu saya dibelikan karena kami sekeluarga akan pindah ke Medan. Jadi, Papa saya berharap dengan membaca buku tersebut, saya bisa kenal dan cinta dengan lingkungan baru nanti. Tapi yang ada saya malah sebal. Andai saja waktu itu kami pindahnya ke Bali, hahahaha, mulai ngayal, deh. :D
Ngerih? Knp jadi khas fikmin gini? :-)
ReplyDelete:D
DeleteAkhir kisah cukup mengejutkan meski aku yakin banyak yang akan menebak bahwa yang dimasak adalah 'anggota tubuh'. Kalau dibaca secara keseluruhan, cerita ini 90% mengikuti pakem aslinya. Poin plus untuk penceritaan Isti yang mampu memancing simpati. :)
ReplyDeleteAih, berasa ikutan MFF Idol jugak inih. Makasih, Bang Riga komenannya. Cerita ini memang ga saya rusak, cuma diubah sedikit ending-nya aja. Dan pada dialog ibunya juga saya ganti semuanya. Sekali lagi, makasih. :)
DeleteWah, saya pernah diceritakan kisah ini sama bapak. Bedanya dikisah Bapak, Ibunya menyayat pahanya.
ReplyDeleteSalam Mbak Isti.
waduuuuh, waktu umur berapa itu mbak diceritain sama bapaknya? -___-
DeleteWaahhh... mirip ..itu paha ini jari kaki
DeleteBtw.. kalo jari kaki yang dipotong kenapa harus ngesot jalannya? Kan bisa jalan lompat2 atau diseret? Soalnya dulu temanku ada yg jarinya putus kena roda sepeda motor masih bisa berdiri dan jalan engkleng gitu
kan jari2nya banyak yg dipotong, mak. -___-
Deleteaduh jadi ngilu lagi nih. :/
Syerem ceritanya mak Isti. Ini pengorbanan seorang ibu ya, tragis banget.
ReplyDeleteEh komenku kemarin nggak masuk ya mak?
masuk mak, tapi di akun G+. Ini settingannya udah kubenerin, jadinya komenan yg dari G+ di akun sana semua masuknya, ga keitung di marih. :D
DeleteHaih...
ReplyDeletejempolku jadi berasa ngilu...
:/
Deletekunjungan perdana dan salam kenal mbak isti, wah ceritanya sungguh mebuat hati aya jadi sedih. ditunggu kunjungan baliknya ya mbka isti, saya punya banyak vcd pembelajaran anak2, sangat cocok sekali untuk mendidik dan membangun karakter dan menanamkan moral anak sejak usia dini, barangkali mbak isti mempunyai anak,keponakan atau adik yang masih kecil. semoga bermanfaat mbak, trm ksh ^_^
ReplyDeleteserem amat ceritanya.
ReplyDeletegw tau tuh ceritanya, kirain masih batu atau apa gitu yg direbus, eh kok malah jari... horoooooor
ReplyDeleteaku pikirrr, daging hewan apa. ternyata *tetiba pusing membayangkan
ReplyDeleteMirip kisah nyata zaman khalifah Umar. tapi ceritanya masak batu.
ReplyDeleteArrgh ngeri n ngilu. Salam kenal Mbak.
ReplyDeletePengen nangis baca ceritanyaaaa....
ReplyDelete